Agar umat Islam dapat diredam
kekuatannya, maka ia harus dibiarkan mengerjakan ibadah agamanya. Dalam bidang
mualamah, kalau perlu mereka dibantu. Namun janganlah membiarkan
kegiatan-kegiatan yang dapat membangkitkan pendidikan Islam. Agitasi
(pergolakan) politik Islam yang harus ditumpas dengan kekerasan senjata, sehingga
diperoleh ketenangan, pemerintah harus memajukan pendidikan, perekonomian,
kesejahteraan dan sebagainya agar kaum pribumi mempercayai maksud Belanda dan
akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir. Hal ini merupakan langkah awal
menuju tercapainya ‘Politik Asosiasi’ yaitu penyatuanantara negri Belanda dan
Hindia Belanda. Agar cita-cita mewujudkan asosiasi ini lekas tercapai, maka pendidikan
barat harus disediakan bagi kaum pribumi. Kaum pribumi yang telah mendapatkan
pendidikan barat tersebut harus diberikan kedudukan sebagai pengelola urusan
politik dan administrasi colonial. Mereka pada akhirnya akan menggantikan
kedudukan Belanda di Indonesia dengan mengembangkan amanat politik asosiasi.
Demikianlah potongan kalimat dari
peryataan Snouck Hurgronje (1857-1906) sebagaiman dikutip Lathiful Khuluq
dalam bukunya : Strategi Belanda Melumpuhkan Islam;Biografi C. Snouck
Hurgronje Bila dicermati kalimat demi kalimat yang terkandung didalamnya,
menunjukkan bahwa inti ungkapan tersebut merupakan langkah-langkah strategi (al-khuwat
al-istiratijiyyah) yang digagas oleh pencetusnya dalam melakukan pembusukan
dari dalam atau lebih dikenal denga perang urat syaraf.
Adapun cara-cara yang dilakaukan,
memberikan kebebesan kepada warga pribumi yang mayoritas muslim untuk
menjalankan ritual keagamaan mereka yang bersifat rutinitas. Namun dalam waktu
yang bersamaan, mereka menekan dan memerangi semua gerakan kaum muslimin yang
mengarah kepada perebutan kekuasaan kaum penjajah. Semua itu dilakukan, agar
pemerintahan kerajaan Hindia Belanda berkesan mau ‘bekerja sama’ dengan pribumi
mengingat pentingnya menanamkan simpati pada kaum muslimin.
Inilah yang melatar belakangi
munculnya para islamolog atau orientalis di dunia Islam secara
umum. Demikian pula dengan Snouck Hurgronje yang begitu getol dan tekun
mempelajari seluk beluk Indonesia dan Islam, sehingga mampu melaksanakan aksi spionase
(memata-matai) dengan munculnya ide-ide segarnya, bagaimana kelahiran ‘politik
Islam’ menurut selera dan gaya pemerintahan kolonel. Pola inilah yang dijadikan
pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama Adviseur Voor Inlandsche
Zaken (Lembaga penasehat gubernur tentang segala sesuatu menegenai pribumi)
(lihat H.Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda).
Jejak Sang Petualangan
Secara biografi, ia memiliki nama
lengkap Christian Snouck Hurgronje, lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di
Oosterhout, Belanda. Ia merupakan anak keempat dari pendeta J.J.
Snouck Hurgronje dan Ana Maria, putri
pendeta D.Christian de Visser. Perkawian
kedua orang tuanya itu didahului oleh suatu hubungan gelap, sehingga
mereka dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei
1849. Kedua orang tuanya baru menikah resmi pada tanggal 31 Agustus 1856, atas
permohonannya agar kedudukan di Gereja Hervormd dipulihkan kembali. Diterima
pula sebagai anggota gereja pada tanggal 12 April 1867.
Nama lengkapnya merupakan gabungan
nama kakeknya Charistian dan nama ayahnya Snouck Hurgronje. Nama tersebut
mengnadung tugas berat, yaitu: Snouck Hurgronje harus menjadi pendeta untuk
memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat oleh orang tuanya. Nampaknya,
cita-cita orang tuanya tidak diabaikan begitu saja, sehingga mengantarkan
Snouck mengantarkan pemuda yang giat
belajar dengan prestasi akademik yang mengagumkan. Ketika bertugas di
Indonesia, Snouck melangsungkan perkawinan dengan anak tunggal Penghulu Besar
Ciamis Raden Haji Muhammad Ta’ib bernama sangkana di usia 33 tahun atas desakan
istri Bupati Ciamis Raden Ajoe Lasminakusuma, maka berlangsunglah perkawinan
itu secara Islam dan melahirkan empat orang anak. Tahun 1898, setelah istrinya
meninggal karena keguguran melahirkan anak kelimanya, Snouck menikah lagi
dengan Siti Sadiyah, putrid wakil penghulu Bandung, Haji Muhammad Soe’eb yang
dikenal Kalipah Apo ( w.1922), perkawinan ini diurus oleh penghulu Bandung Haji
Hasan Mustapha, sementara itu Snouck berusia 41 tahun. Dikarenakan kedua
perkawinan ini berlawanan dengan moral bangsa Eropa yang berdasarkan pemisah
etnik (apharteid), perkawinan keduanyapun tidak diakui, dan selanjutnya
ia menikah dengan Ida Meria, seorang putrid Dr.A.J.Oort, pensiunan pendeta
liberal di Zutphen. Terlahirlah seorang anak perempuan bernama Chrisrien,
Perkawinan itupun berlangsung sampai Snouck meninggal dunia pada tanggal 26
Juni 1936, (Lathiful Khuluq, 2002, hal. 7-12).
Disamping
melakukan perkawinan dengan wanita bangsawan pribumi, dengan latar pendidikan
yang memadai; mempelajari bahasa Latin dan Yunani, menamatkan kuliahTeologi di
Leiden (1878), perkenalannya dengan Harman Bavick ( seorang ahli dokmatik
Kristen), berguru kepada para tokoh mordernis Leiden (Abraham Kuenen, C.P
Teales dan L.W.E. Rauwenhoff), belajar bahasa semit dari R.P.A. Dozi dan sastra
Arab dengan bimbingan M.J.de Geoje, lawatan ke Mekkah dan Jeddah, seluruhnya
menghantarkan pribadi Snouck menjadi seorang orientalis yang sangat piawi,
sehingga pemerintah Belanda menugaskannya berulang kali menjadi peneliti. Untuk
menghindari sifat resmi dari penelitian-penelitiannya terhadap bumi putera,
Snouck pun berbaur dengan masyarakat. Hal serupa dilakukannya di kota Mekkah, Dengan memakai nama Abdul
Ghaffar, Snouck diijinkan tinggal di Mekah. Selama di Mekah Snouck mengerjakan
shalat, meninggalkan minuman keras dan mengerjakan rukun Islam lainnya. Dengan
sikap tersebut, Snouck dapat mudah mengadakan hubungan dengan para pelajar dan
ulama yang berasal dari Hindia Belanda di Mekkah, yang kelak dimanfaatkannya
juga ketika mengadakan penelitian di Hindia Belanda (baca: negri-negri jajahan
di Indonesia). (ibid, hal.13-17)
Sebuah Renungan
Sangan
menakjubkan, Snouck sudah membuktikan keteguhan pribadinya sebagai peneliti,
mengorbankan harga dirinya demi ideology dan agama yang dianutnya, meluangkan
waktu, mengarahkan tenaga dan fikiran demi bangsanya itu, aksi penyamaran dan
kejahatan manipulative (tipu daya) sedang ia mainkan dalam rangka mengelabui
kaum muslimin sebagai bangsa jajahan. Kenyataan ini diakui oleh peneliti
Belanda lainnya Dr. Van Konning Velds sebagaimana penuturannya: “ Ia (Snouck
Hurgronje) berlindung dibalik ‘penelitian ilmiah’ dalam melakukan
aktifitas spionase demi kepentingan penjajah”. Hal senada diungkapkan pula oleh
candikiawan Aceh Prof . A. Hasyimi:
“Belanda
mulai memerangi Aceh dengan upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873.
Perang berlangsung selama dua puluh tahun. Namun tentara Belanda menghadapi
perlawanan sengit dalam tiap pertempuran. Dan rahasia pertempuran ini adalah
padunya ulama dan pemimpin setempat. Snouck sangat paham hal ini dan melihat
Islam sebagai penggerak yang paling kuat dalam jiwa kaum muslimin. Snouck ingin
menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnya. Ia belajar Islam, datang
ke Mekkah dan pura-pura masuk Islam, Bahkan untuk tujuan busuk ini, Snouck
memakai nama Abdul Ghaffar. Dengan cara ini, Snouck mengenal ulama Aceh yang
berada di Mekkah seperti syeikh al-Habib Abdul Rahman al-Zhahir. Ia membangun
hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana, khusulnya asal Aceh.
Sehingga tak seorangpun dari mereka membayangkan ia adalah seorang musuh
Islamnyang sangat berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membentu rakyat
Aceh dalam perang melawan Belanda.” (Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia;
Potret Melawan Konspirasi, 2003, hal 198-199).
Dari perjalanannya yang panjang,
Snouck berhasil merumuskan kesimpulan pengalamannya dengan strategi-strategi
yang sangat ampuh dalam meruntuhkan perlawanan pribumi yang Islamdan
langgengnya penjajahan Barat. Diantara kesimpulan tersebut adalah:
Pentingnya
memisahkan umat Islam, antara Islam Religius (yang memperhatikan rutinitas
ibadah saja) dengan Islam politik ( gerakan Islam yang mempersoalkan penjajah).
Kelompok pertama perlu mendapatkan sikap toleran dan kelompok kedua wajib
diwaspadai dikarenakan membahayakan eksistensi (keberadaan)pemerintahan
colonial. (Badri Yatim, Sejerah Peradapan Islam, hal.254)
Pentingnya
membatasi frekuansi jama’ah haji dalam
rangka menekan dan mengurangi hubungan Internasional antara Indonesia dan Timur
Tengah serta pentingnya menjalankan Spionase (aksi memata-matai) di
kantong-kantong perlawanan di luar negeri ( khususnya di tanah suci yang
disebut koloni jawa). ( Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942,hal.30-34)
Dengan
sterategi yang yang pernah dijalankannya inilah , berhasil melanjutkan siasat
‘Devide et Impera’ (politik adu domba) walaupun terasa halus. Namun hakikatnya,
gerakan pembusukan di dalam ini lebih bahaya dari perang-perang fisik
sebelumnya. Bahkan Dr.Mahmud Hamdy Zaqzuq dalam bukunya ‘Al-Astisyraq Wak
Khalfiyyat al-Fikriyyat Lis Shira’il Hai menjelaskan bahwa: “Lawatan-lawatan kaum penjajah sebelumnya untuk mengenal lebih dekat tentang hal
ihwal daerah jajahan, sangat menentukan keberhasilan dimasa mendatang.”
Secara umum,
sekalipun konsep-konsep Snouck tidak dapat diterapkan semuanya, namun hal
tersebut telah cukup membantu pemerintah colonel dalam masalah-masalah pribumi
terutama memadamkan gerekan perlawanan. Demikian pula dampak buruk politik
colonial Nampak sangat terasa sampai saat ini, diantaranya: terjadinya trauma politik
di beberapa organisasi Islam, adanya dikotomi(pemisahan) pendidikan yang sangat
kental antara yang mementingkan ilmu pengetahuan umum dengan yang memfokoskan
ilmu agama, munculnya islamphobia (alergi terhadap segala sesuatu yang
berbau Islam) pada beberapa pelajar dan kaum intelektual hasil didikan Barat,
lahirnya pemuja kebudayaan Barat, semakin tajamnya pertentangan antara kelompok
abangan dan santri, serta tersendat-sendatnya proses Islamisasi di nusantar.
Semua itu merupakan ranjau-ranjau ghazul Fikri yang denga sengaja direncanakan
demi runtuhnya peradaban dan lenyapnya ajaran Islam.
Tidak ada komentar