Ads-728

Cat-1

Cat-2

Cat-3

Cat-4

» » Snouck Hurgronje “Orientalis Berjubah Santri”


Agar umat Islam dapat diredam kekuatannya, maka ia harus dibiarkan mengerjakan ibadah agamanya. Dalam bidang mualamah, kalau perlu mereka dibantu. Namun janganlah membiarkan kegiatan-kegiatan yang dapat membangkitkan pendidikan Islam. Agitasi (pergolakan) politik Islam yang harus ditumpas dengan kekerasan senjata, sehingga diperoleh ketenangan, pemerintah harus memajukan pendidikan, perekonomian, kesejahteraan dan sebagainya agar kaum pribumi mempercayai maksud Belanda dan akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir. Hal ini merupakan langkah awal menuju tercapainya ‘Politik Asosiasi’ yaitu penyatuanantara negri Belanda dan Hindia Belanda. Agar cita-cita mewujudkan asosiasi ini lekas tercapai, maka pendidikan barat harus disediakan bagi kaum pribumi. Kaum pribumi yang telah mendapatkan pendidikan barat tersebut harus diberikan kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi colonial. Mereka pada akhirnya akan menggantikan kedudukan Belanda di Indonesia dengan mengembangkan amanat politik asosiasi.

Demikianlah potongan kalimat dari peryataan Snouck Hurgronje (1857-1906) sebagaiman dikutip Lathiful Khuluq dalam bukunya : Strategi Belanda Melumpuhkan Islam;Biografi C. Snouck Hurgronje Bila dicermati kalimat demi kalimat yang terkandung didalamnya, menunjukkan bahwa inti ungkapan tersebut merupakan langkah-langkah strategi (al-khuwat al-istiratijiyyah) yang digagas oleh pencetusnya dalam melakukan pembusukan dari dalam atau lebih dikenal denga perang urat syaraf.

Adapun cara-cara yang dilakaukan, memberikan kebebesan kepada warga pribumi yang mayoritas muslim untuk menjalankan ritual keagamaan mereka yang bersifat rutinitas. Namun dalam waktu yang bersamaan, mereka menekan dan memerangi semua gerakan kaum muslimin yang mengarah kepada perebutan kekuasaan kaum penjajah. Semua itu dilakukan, agar pemerintahan kerajaan Hindia Belanda berkesan mau ‘bekerja sama’ dengan pribumi mengingat pentingnya menanamkan simpati pada kaum muslimin.

Inilah yang melatar belakangi munculnya para islamolog atau orientalis di dunia Islam secara umum. Demikian pula dengan Snouck Hurgronje yang begitu getol dan tekun mempelajari seluk beluk Indonesia dan Islam, sehingga mampu melaksanakan aksi spionase (memata-matai) dengan munculnya ide-ide segarnya, bagaimana kelahiran ‘politik Islam’ menurut selera dan gaya pemerintahan kolonel. Pola inilah yang dijadikan pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama Adviseur Voor Inlandsche Zaken (Lembaga penasehat gubernur tentang segala sesuatu menegenai pribumi) (lihat H.Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda).

Jejak Sang Petualangan


Secara biografi, ia memiliki nama lengkap Christian Snouck Hurgronje, lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout, Belanda. Ia merupakan anak keempat dari pendeta J.J.
Snouck Hurgronje dan Ana Maria, putri pendeta D.Christian de Visser. Perkawian  kedua orang tuanya itu didahului oleh suatu hubungan gelap, sehingga mereka dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei 1849. Kedua orang tuanya baru menikah resmi pada tanggal 31 Agustus 1856, atas permohonannya agar kedudukan di Gereja Hervormd dipulihkan kembali. Diterima pula sebagai anggota gereja pada tanggal 12 April 1867.

Nama lengkapnya merupakan gabungan nama kakeknya Charistian dan nama ayahnya Snouck Hurgronje. Nama tersebut mengnadung tugas berat, yaitu: Snouck Hurgronje harus menjadi pendeta untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat oleh orang tuanya. Nampaknya, cita-cita orang tuanya tidak diabaikan begitu saja, sehingga mengantarkan Snouck  mengantarkan pemuda yang giat belajar dengan prestasi akademik yang mengagumkan. Ketika bertugas di Indonesia, Snouck melangsungkan perkawinan dengan anak tunggal Penghulu Besar Ciamis Raden Haji Muhammad Ta’ib bernama sangkana di usia 33 tahun atas desakan istri Bupati Ciamis Raden Ajoe Lasminakusuma, maka berlangsunglah perkawinan itu secara Islam dan melahirkan empat orang anak. Tahun 1898, setelah istrinya meninggal karena keguguran melahirkan anak kelimanya, Snouck menikah lagi dengan Siti Sadiyah, putrid wakil penghulu Bandung, Haji Muhammad Soe’eb yang dikenal Kalipah Apo ( w.1922), perkawinan ini diurus oleh penghulu Bandung Haji Hasan Mustapha, sementara itu Snouck berusia 41 tahun. Dikarenakan kedua perkawinan ini berlawanan dengan moral bangsa Eropa yang berdasarkan pemisah etnik (apharteid), perkawinan keduanyapun tidak diakui, dan selanjutnya ia menikah dengan Ida Meria, seorang putrid Dr.A.J.Oort, pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Terlahirlah seorang anak perempuan bernama Chrisrien, Perkawinan itupun berlangsung sampai Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, (Lathiful Khuluq, 2002, hal. 7-12).

     Disamping melakukan perkawinan dengan wanita bangsawan pribumi, dengan latar pendidikan yang memadai; mempelajari bahasa Latin dan Yunani, menamatkan kuliahTeologi di Leiden (1878), perkenalannya dengan Harman Bavick ( seorang ahli dokmatik Kristen), berguru kepada para tokoh mordernis Leiden (Abraham Kuenen, C.P Teales dan L.W.E. Rauwenhoff), belajar bahasa semit dari R.P.A. Dozi dan sastra Arab dengan bimbingan M.J.de Geoje, lawatan ke Mekkah dan Jeddah, seluruhnya menghantarkan pribadi Snouck menjadi seorang orientalis yang sangat piawi, sehingga pemerintah Belanda menugaskannya berulang kali menjadi peneliti. Untuk menghindari sifat resmi dari penelitian-penelitiannya terhadap bumi putera, Snouck pun berbaur dengan masyarakat. Hal serupa  dilakukannya di  kota Mekkah, Dengan memakai nama Abdul Ghaffar, Snouck diijinkan tinggal di Mekah. Selama di Mekah Snouck mengerjakan shalat, meninggalkan minuman keras dan mengerjakan rukun Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mudah mengadakan hubungan dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda di Mekkah, yang kelak dimanfaatkannya juga ketika mengadakan penelitian di Hindia Belanda (baca: negri-negri jajahan di Indonesia). (ibid, hal.13-17)

Sebuah Renungan

     Sangan menakjubkan, Snouck sudah membuktikan keteguhan pribadinya sebagai peneliti, mengorbankan harga dirinya demi ideology dan agama yang dianutnya, meluangkan waktu, mengarahkan tenaga dan fikiran demi bangsanya itu, aksi penyamaran dan kejahatan manipulative (tipu daya) sedang ia mainkan dalam rangka mengelabui kaum muslimin sebagai bangsa jajahan. Kenyataan ini diakui oleh peneliti Belanda lainnya Dr. Van Konning Velds sebagaimana penuturannya: “ Ia (Snouck Hurgronje) berlindung dibalik ‘penelitian ilmiah’ dalam melakukan aktifitas spionase demi kepentingan penjajah”. Hal senada diungkapkan pula oleh candikiawan Aceh Prof . A. Hasyimi:

     “Belanda mulai memerangi Aceh dengan upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873. Perang berlangsung selama dua puluh tahun. Namun tentara Belanda menghadapi perlawanan sengit dalam tiap pertempuran. Dan rahasia pertempuran ini adalah padunya ulama dan pemimpin setempat. Snouck sangat paham hal ini dan melihat Islam sebagai penggerak yang paling kuat dalam jiwa kaum muslimin. Snouck ingin menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnya. Ia belajar Islam, datang ke Mekkah dan pura-pura masuk Islam, Bahkan untuk tujuan busuk ini, Snouck memakai nama Abdul Ghaffar. Dengan cara ini, Snouck mengenal ulama Aceh yang berada di Mekkah seperti syeikh al-Habib Abdul Rahman al-Zhahir. Ia membangun hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana, khusulnya asal Aceh. Sehingga tak seorangpun dari mereka membayangkan ia adalah seorang musuh Islamnyang sangat berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membentu rakyat Aceh dalam perang melawan Belanda.” (Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia; Potret Melawan Konspirasi, 2003, hal 198-199).

   Dari perjalanannya yang panjang, Snouck berhasil merumuskan kesimpulan pengalamannya dengan strategi-strategi yang sangat ampuh dalam meruntuhkan perlawanan pribumi yang Islamdan langgengnya penjajahan Barat. Diantara kesimpulan tersebut adalah:

       Pentingnya memisahkan umat Islam, antara Islam Religius (yang memperhatikan rutinitas ibadah saja) dengan Islam politik ( gerakan Islam yang mempersoalkan penjajah). Kelompok pertama perlu mendapatkan sikap toleran dan kelompok kedua wajib diwaspadai dikarenakan membahayakan eksistensi (keberadaan)pemerintahan colonial. (Badri Yatim, Sejerah Peradapan Islam, hal.254)

          Pentingnya membatasi frekuansi jama’ah haji  dalam rangka menekan dan mengurangi hubungan Internasional antara Indonesia dan Timur Tengah serta pentingnya menjalankan Spionase (aksi memata-matai) di kantong-kantong perlawanan di luar negeri ( khususnya di tanah suci yang disebut koloni jawa). ( Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,hal.30-34)

           Dengan sterategi yang yang pernah dijalankannya inilah , berhasil melanjutkan siasat ‘Devide et Impera’ (politik adu domba) walaupun terasa halus. Namun hakikatnya, gerakan pembusukan di dalam ini lebih bahaya dari perang-perang fisik sebelumnya. Bahkan Dr.Mahmud Hamdy Zaqzuq dalam bukunya ‘Al-Astisyraq Wak Khalfiyyat al-Fikriyyat Lis Shira’il Hai menjelaskan bahwa: “Lawatan-lawatan kaum penjajah sebelumnya untuk mengenal lebih dekat tentang hal ihwal daerah jajahan, sangat menentukan keberhasilan dimasa mendatang.”

       Secara umum, sekalipun konsep-konsep Snouck tidak dapat diterapkan semuanya, namun hal tersebut telah cukup membantu pemerintah colonel dalam masalah-masalah pribumi terutama memadamkan gerekan perlawanan. Demikian pula dampak buruk politik colonial Nampak sangat terasa sampai saat ini, diantaranya: terjadinya trauma politik di beberapa organisasi Islam, adanya dikotomi(pemisahan) pendidikan yang sangat kental antara yang mementingkan ilmu pengetahuan umum dengan yang memfokoskan ilmu agama, munculnya islamphobia (alergi terhadap segala sesuatu yang berbau Islam) pada beberapa pelajar dan kaum intelektual hasil didikan Barat, lahirnya pemuja kebudayaan Barat, semakin tajamnya pertentangan antara kelompok abangan dan santri, serta tersendat-sendatnya proses Islamisasi di nusantar. Semua itu merupakan ranjau-ranjau ghazul Fikri yang denga sengaja direncanakan demi runtuhnya peradaban dan lenyapnya ajaran Islam. 

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Siape Saye? MF Abdullah

Terlahir di desa Kuala Secapah, desa kecil yang terletak di pinggiran laut Kalimantan Barat. Hobby memancing, jalan-jalan, dan mencicipi kuliner di berbagai daerah serta mengisi waktu senggangnya di blogsphere. Untuk menambah jalinan silaturrahmi bisa menghubungi di bawah ini

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Box Office

Cat-6