Bismillahirrahmanirrahim...
Benarkah semua
ibadah itu terpuji dan apa syaratnya ibadah seseorang itu dapat diterima di
sisi Allah?
Ibadah dalam pengertiannya yang umum, berarti pengabdian atau mengabdi dan
menghambakan diri. Biasanya, sikap penghambaan hanya dilakukan oleh orang-orang
yang merasa rendah ketika berhadapan dengan orang yang lebih kuat. Si miskin
berhadapan dengan si kaya, si bodoh berhadapan dengan si pintar, bawahan
berhadapan dengan atasan dan rakyat berhadapan dengan rajanya. Kalaulah hal itu
yang disebut dengan ibadah, tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam yang menghargai persamaan (musâwat). Bukankah standar
kemulyaan seseorang hanya dapat diukur dengan nilai ketakwaannya?, bukan dengan
martabatnya. (QS. Al-Hujurât/49:13).
Namun demikian,
pengertian ‘menghambakan diri’ atau ‘merendahkan diri’ akan menjadi benar
pemahamannya, bilamana objeknya jelas yakni Allah semata, karena asal makna
ibadah itu sendiri yaitu ad-dzillu [merendahkan diri] disamping al-hubb
[cinta], al-khudlû’ [merunduk] dan at-thâ’at (patuh).
Oleh karenanya,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi yang cukup mewakili bahwa yang
disebut ibadah adalah :
إِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ
مَايُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَ
الظَّاهِرَةِ
Artinya : Sesuatu
yang mencakup segala bentuk yang dicintai dan diridlai Allah, baik ucapan
maupun perbuatan yang nyata ataupun yang tersembunyi. [Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Ubûdiyyah,
hal. 8]
Maka sangat jelas,
sesuatu perkataan ataupun perbuatan bahkan kehendak tidaklah dikatakan ibadah,
bilamana Allah tidak menyukai dan meridlainya. Ibadah merupakan nama di antara
nama-nama syara’ lainnya [ismun min asmâis syar’iyyah], yang inti
pengertiannya mengesakan Allah semata dan beramal sesuai sunnah nabiNya.
Dikatakan ibadah itu menjadi terpuji dan diterima bilamana memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Iman; artinya suatu
ibadah akan diterima bila dilakukan oleh orang yang beriman kepada Allah. (QS.
Al-‘Ashr/103:1-3).
2. Ikhlas; artinya tidak
dikatakan orang beriman secara sempurna, melainkan mereka yang menjalankan
ibadahnya dengan ikhlas (QS. Al-Bayyinah/98:5).
3. Muttaba’atur rasûl; artinya melaksanakan ibadah memerlukan juklak (petunjuk pelaksanaan).
Disamping sesuai perintah kitabullâh, harus cocok pula (munâsib wa muwâfiq)
dengan contoh Rasulullah SAW . (QS. Ali-Imran/3:31-32). Para ulama’ salaf menasihatkan: al-I’tishâm
bis sunnah najât (berpegang teguh terhadap sunnah merupakan kunci
keselamatan), berpegang terhadap sunnah laksana orang yang menumpang bahtera
nabi Nuh, siapa menungganginya dia selamat, siapa menghindarinya dia tenggelam.
Demikian penuturan Imam Az-Zuhri dan Imam Malik sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Taimiyah. (Al-‘Ubûdiyyah hal.39) [Al-Bahr]
Terimakasih atas pencerahannya mas
BalasHapussalam
Hahaha :^D^: Sang Pencerah kaleeee...... wk :^D^:
HapusPiye kabare mas ? kapan maein ke Palembang? (*.*)
semua manusia sesungguhnya membutuhkan iman, iman dapat "diisi" dengan melakukan ibadah :)
BalasHapus*untuk widget "jgn lupa baca juga yang ini:
aku pakai tutorial disini:
http://www.mayura4ever.com/2012/03/show-related-content-on-blogger-with.html?m=1
Oke tQ bro.. btw yang indonesia ada gak mas bro.... hehehehe :D makloum ndeso..
HapusBenar sekali Mas Furqan, bahwa ibadah itu harus dijalankan dengan ikhlas, semata mengharap ridha Allah. Berhitung-hitung dengan pahala dan kebaikan yang akan diperoleh dari sebuah ibadah, menurut saya itu merupakan salah satu bentuk ketidakikhlasan dalam beribadah.. :)
BalasHapusSemoga kita senantiasa menjadi orang yang ikhlas dalam beribadah uda...
Hapus