Serangan misil dari kapal perang AS ke Benghazi, pekan lalu. |
Mereka merujuk ke situasi politik di Bahrain, Yemen, Arab Saudi, dan Pantai Gading. Tapi toh, AS tidak menyerang atau bahkan campur tangan dalam politik dalam negeri di negara-negara tersebut.
Intervensi militer ini, menurut para pakar, mengilustrasikan betapa kebijakan luar negeri AS tidak konsisten. Kebijakan luar negeri AS itu terlihat mencoba menyeimbangkan antara keinginan menerapkan demokrasi ideal dengan kepentingan pragmatis AS.
Mark Quarterman, dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan Presiden AS Barack Obama justru terlihat 'terikat' terhadap situasi di Libya. Ada apa? "Kok dengan situasi di Libya, adanya kejahatan terhadap HAM, negara-negara ini bisa cepat mencapai konsensus, sementara di negara lain yang menghadapi situasi serupa tidak?" kata Quaterman.
Nicholas R. Burns, pakar politik luar negeri asal Harvard, mengatakan Obama sepertinya tidak punya plihan. "Ketika kota Benghazi diserbu tentara Qadafi, Obama tahu dia harus mengerahkan militer AS ke sana. Ini untuk menyelamatkan warga Libya," katanya.
Namun, Burns menggarisbawahi, mengapa dalam konteks pergerakan antipemerintah yang sama di Yemen dan Bahrain, Obama dan AS tidak menggerakkan militernya. Ini yang membuat pertanyaan mendasar. "Jawabannya? Amerika tidak konsisten, Amerika punya kepentingan nasional terkait keamanan di dua negara terakhir itu," kata dia. Yang dia maksud adalah soal pemberantasan terorisme di dua negara Timteng itu.
Amerika sudah menancapkan armada 5th Fleetnya di Bahrain. Sementara di Yaman sudah jadi rahasia umum bahwa negara itu membantu AS mengejar Alqaida dan Osama bin Laden.
Sumber: Harian Republika (25 03 2011)
Tidak ada komentar