Sungguh mengejutkan, di tengah gencar-gencarnya kampanye untuk menjadikan komodo masuk sebagai salah satu nomine 7 Keajaiban Dunia Baru oleh New 7 (Seven) Wonders of Nature ternyata juga mengundang kontroversi. Tidak tanggung-tanggung, kampanye ini melibatkan beberapa pihak mulai dari Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi duta resmi pemenangan Pulau Komodo, DPRD Manggarai Barat, sembilan hakim agung Mahkamah Konstitusi, MPR, berbagai pimpinan media massa dan pengusaha nasional, selebritas semacam Fadli 'Padi' dan RAN, Slank, bahkan sampai Presiden SBY pun menyerukan dukungan.
Bahkan empat provider telekomunikasi pun bekerja sama demi kelancaran vote via sms. Bahkan penyedia layanan SMS Mobilink pun sampai menaikkan kapasitas servernya untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah sms dukungan menjelang masa berakhirnya masa pemilihan pada tanggal 11 November nanti. Salah satu bentuk dukungan empat provider telekomunikasi ditunjukkan dengan menurunkan tariff sms yang semula Rp. 1000/sms menjadi Rp. 1/sms
Ketua Pendukung Pemenangan Komodo, aktivis lingkungan Emmy Hafild mengaku saat ini pendukung Komodo sudah mencapai puluhan juta, meskipun tidak boleh disebutkan detail berapa tepatnya voters yang mendukung Komodo.
Alasannya, "Peraturan dari panitia penyelenggara The 7 Wonders melarang peserta memberikan rincian voters karena kompetisi ini tidaklah menggunakan penghargaan juara satu, dua dan tiga," Jelas Emmy Hafild kepada wartawan.
Hal inilah yang menyebabkan salah satu negara peserta mundur. Adalah Maladewa, Negara yang termasuk salah satu negara yang masuk dalam nomine 7 Keajaiban Dunia Baru ini, tapi kemudian memutuskan mundur. Seperti tercantum dalam situs resmi pemasaran dan hubungan masyarakat Maladewa, bahwa penyelenggara tidak transparan dalam menjelaskan bagaimana cara mereka menghitung dukungan.
Itu baru satu alasan. Yang lainnya adalah biaya-biaya tak terduga yang terus meningkat jumlahnya. Mereka menyebut harus membayar sponsor platinum mencapai $350 ribu; dua biaya sponsor emas dengan total $420 ribu, mensponsori tur dunia dengan menerima kunjungan delegasi, menyediakan perjalanan balon udara, penerbangan, akomodasi, kunjungan wartawan; biaya $1 juta dolar bagi penyedia layanan telepon untuk berpartisipasi dalam kampanye New7Wonders; dan $1 juta lagi agar maskapai Maladewa bisa menempelkan logo New7Wonders di pesawat-pesawat mereka.
Biaya-biaya ini sangat besar hanya demi sebuah predikat 'ajaib'. Toh selama ini reputasi komodo sebagai tujuan wisata dunia juga sudah diakui. Selain itu, bukankah biaya jutaan dollar itu bisa lebih baik digunakan untuk sebuah kampanye wisata Indonesia yang terencana (semacam Malaysia dengan Truly Asia-nya atau Thailand lewat Amazing Thailand-nya) daripada demi membayar biaya-biaya lisensi pada sebuah perusahaan yang tidak jelas reputasinya?
Yang perlu diingat lagi, bahwa lembaga New7Wonders yang mengadakan kompetisi ini sama sekali tidak terhubung dengan lembaga UNESCO di bawah PBB (bisa dicek disini ).UNESCO sudah lebih dulu menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia pada 1986. Bahkan, UNESCO sampai mengeluarkan pernyataan tersendiri demi menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan dengan penetapan Situs-Situs Warisan Dunia sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh New7Wonders (Pernyataan resmi dari UNESCO bisa dibaca di sini).
Sejak 2007, UNESCO menyatakan bahwa mereka sudah berkali-kali diajak bekerjasama oleh organisasi milik Bernard Weber ini, tapi mereka memilih untuk tidak berpartisipasi. Lembaga PBB biasanya menggunakan bahasa-bahasa yang diplomatis. Maka ketika UNESCO mengatakan, "tidak ada yang bisa dibandingkan antara kampanye media yang dilakukan Tuan Weber dengan pekerjaan ilmiah dan proses pendidikan yang kami lakukan di UNESCO sehingga menghasilkan daftar situs-situs Warisan Dunia," itu artinya mereka sedang memberi peringatan keras akan cara kerja lembaga ini.
Selain itu kampanye untuk menjadikan komodo masuk sebagai salah satu nomine 7 Keajaiban Dunia Baru oleh New 7 (Seven) Wonders of Nature juga ditentang oleh akademisi. Prof. Putra Sastrawan peneliti Komodo sejak tahun 1969 yang juga mantan Pembantu Rektor III Universitas Udayana mengatakan tidak etis Presiden melakukan promosi untuk kepentingan New7Wonders yang notabene adalah lembaga swasta yang tidak punya afiliasi dengan Unesco.
Dikatakan Putra, yang paling dibutuhkan Komodo saat ini adalah konservasi, bukan justru mempopulerkannya, apalagi lewat SMS macam audisi idol. “Komodo sudah populer sejak diterbitkan pada jurnal ilmiah dunia pada tahun 1912. Statistik Kehutanan menyebutkan 95% pengunjung pulau ini adalah orang asing. Artinya, di luar negeri, pulau ini sudah populer,” kata dia.
Selain itu, jelas Putra, diperlukan adanya penguatan stake holders di sekitar habitat Komodo. Saat ini diakuinya, ada penurunan jumlah populasi Komodo sejak penelitiannya tahun 1969 sampai dengan tahun 2000-an. Pada survey periode 1969-1970, jumlah Komodo yang tersebar di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Flores mencapai 5.500 ekor. Pada survey tahun 2000-an, jumlahnya tidak kurang dari 3 ribu ekor.
Selain itu dijumpai fakta berkurangnya makanan untuk spesies ini, menyebabkan terjadinya degradasi ukuran tubuh. Pada tahun 1969 pernah dijumpai Komodo dengan panjang 3,24 meter. Tapi pada penelitian tahun 2000-an, paling panjang hanya 3,12 meter.
Dengan kondisi ini, kata Putra, yang dibutuhkan adalah penguatan masyarakat sekitar agar tetap konsisten menjaga habitat Komodo.
Kritik serupa juga disampaikan Prof. Dr. Laurentius Dyson guru besar Antropologi Fisip Universitas Airlangga. Menurut dia, jika Presiden sampai ikut-ikut mempromosikan Pulau Komodo lewat New7Wonders, sama dengan melakukan pembodohan pada masyarakat. “Lagi-lagi masyarakat dieksploitasi dengan diajak kirim SMS untuk mendukung sesuatu yang tidak jelas manfaatnya,” kata dia.
Secara etika pun, kata Dyson, tidak etis jika Presiden ikut berkampanye untuk kepentingan New7Wonders yang notabene adalah lembaga swasta.
Lalu, kenapa kita masih ngotot memenangkan komodo dalam kompetisi yang tidak jelas cara penjuriannya ini? Yang jika kita menang pun, kita masih harus membayar biaya-biaya tinggi demi meraih pengakuan internasional? Sebegitu hauskah kita akan pengakuan internasional dari lembaga yang reputasinya tidak jelas? Apa yang menurut Anda membuat berbagai figur publik seolah terbutakan akan fakta-fakta yang tersedia dan secara membuta mendukung komodo?
Sumber : klik disini dan disini
Cat-1
Cat-2
Cat-3
Cat-4
Label: Berita , Info Hot , Peristiwa , Selingan
Siape Saye? MF Abdullah
Terlahir di desa Kuala Secapah, desa kecil yang terletak di pinggiran laut Kalimantan Barat. Hobby memancing, jalan-jalan, dan mencicipi kuliner di berbagai daerah serta mengisi waktu senggangnya di blogsphere. Untuk menambah jalinan silaturrahmi bisa menghubungi di bawah ini
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Ha... ha.... ha..... sampean koq melarang orang mendukung komodo menjadi "keajaiban" baru, ntar sampean di hujat orang banyak lho.
BalasHapusAku sendiri mendingan gak mau di KADAL in oleh mereka yang mengaku2 mempromosikan KOMODO demi kejar setoran di tahun 2014.
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Ane gak melarang bro... cuma ngasi pertimbangan2 sebelum berbuat lebih...Komodo sudah populer sejak diterbitkan pada jurnal ilmiah dunia pada tahun 1912. Statistik Kehutanan menyebutkan 95% pengunjung pulau ini adalah orang asing. Artinya, di luar negeri, pulau ini sudah populer. jadi gak perlu voting2 dari yayasan yang gak jelas..... hehehehe :D
BalasHapusSalama hagat kembali dari Bumu Malioboro...