PERBEDAAN BUKAN BERARTI PERPECAHAN
Oleh: Ust. Romly Qomaruddin Abu Yazid
Menarik dan wajib
ditafakkuri, itulah kesimpulan yang dapat kita pahami dari nasihat-nasihat emas
para ulama ahlus sunnah ketika memaparkan penjelasan dan pengarahan (tabyîn
wa taujîh) kepada kaum muslimin dalam memelihara persatuan dan ikatan kasih
sayang serta waspada akan terjadinya perbedaan dan saling berbantahan yang akan
menggiring para pelakunya ke dalam kubangan fitnah tanâzu’ dan tafarruq.
Namun demikian, tidaklah berarti kaum
muslimin harus melupakan atau pura-pura lupa terhadap persoalan-persoalan
perbedaan pendapat yang terjadi dalam syari’at (ikhtilâf) yang menantang
untuk diluruskan dan dikembalikan kepada pangkal Islam itu sendiri (ashâlatul
Islâm). Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla membimbing orang-orang yang beriman
kepadaNya dan hari akhir untuk sama-sama memperhatikan pernyataan ayatNya:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ...
“Maka jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, hendaklah
kalian kembali kepada Allah dan kepada RasulNya, kalaulah kalian beriman kepada
Allah dan hari akhir…” (QS. An Nisâ/4:59).
Dalam bukunya al
Hawâ wa Atsaruhu fil Khilâf, Syaikh Abdullah bin Muhammad al Ghanîmân
menuturkan: “wajib bagi kita, siapa saja yang berselisih pendapat haruslah
dikembalikan kepada al Qur’ân dan as Sunnah, sebab kalimat “fî syai-in”
dalam ayat ini mengandung pengertian umum, yaitu setiap perselisihan yang
terjadi sekalipun perkara kecil. Hal ini menerangkan bahwa mengembalikan urusan
kepada kedua sumber hukum tersebut merupakan kemestian bagi seorang muslim
sebagi tuntutan iman. Maka jika perselisihan apapun tidak dikembalikan kepada
keduanya, sudah dapat dipastikan bahwa pelakunya tidak memiliki iman (al
Ghanîmân, hal.24-25).
Apa Kata Mereka ?
Mereka para ulama
ahlis sunnah sangatlah adil; yakni adil dalam menilai kebaikan dan adil pula
dalam menilai kesalahan dan kekeliruan orang lain. Sikap ini muncul sama sekali
tidak mereka maksudkan agar umat menjadi bingung dalam memilih dan memilah
suatu kebenaran, melainkan bagaimana kebenaran itu dapat diterima tanpa
mendatangkan kemadharatan yang lebih besar di tengah-tengah gelombang
dahsyatnya perbedaan, yang tentunya selama perbedaan itu dalam bingkai kitâbullâh
dan sunnah nabiNya.
Oleh karenanya,
betapa besar perhatian para ulama dalam menjaga dan memelihara sikap ini,
baik kalangan salaf maupun khalaf
yang mengikuti jejak langkah para pendahulunya yang shalih. Hal ini
terbukti dari kitab-kitab ataupun risalah mereka yang memaparkan
persoalan-persoalan dimaksud.
Sebagai contoh, disamping mengkaji Raf’ul Malâm ‘Anil
Aimmatil Â’lâm (buku Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah mengenai sikap para ulama
dalam menyikapi perbedaan), yang merupakan kitab mutaqaddimîn, para
penuntut ilmupun harus lebih termotivasi lagi untuk terus menambah pengetahuan
dan wawasannya mengenai sikap yang seharusnya dimiliki dalam menyelesaikan
persoalan agamanya, terlebih lagi dalam mengikuti perkembangan zaman yang
semakin dinamis, sehingga membutuhkan lahirnya jiwa-jiwa yang arif dan
bijaksana dalam menghadapi masyarakat yang semakin diselimuti dengan berbagai
kejahilan.
Diantara
buku-buku yang dimaksud adalah: Washiyyat Kubrâ Ibnu Taimiyyah oleh Abû
Abdullâh Muhammad Bin Hamad Al Hamûd, Nashîhah Dzahabiyyah Ilal Jamâ’ah Al
Islâmiyyah Fatwâ Fith Thâ’at Wal Bai’ah (Nasihat Emas Ibnu Taimiyyah
tentang Jama’ah dan Ketaatan) tahqîq Masyhur Hasan Salman, Adâbul Ikhtilâf
Fil Islâm (Bagaimana Etika Berbeda Pendapat Menurut Islam) oleh Thâhâ Jâbir
Fayyadl Al ‘Ulwânî, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamâ’ah Fin Naqdi Wal Hukmi
‘Alal Âkharîn (Manhaj Ahlus Sunnah dalam Mengkritik dan menilai Orang Lain)
oleh Hisyâm Bin Ismâ’îl Shinni, Min Washâyâs Salaf (Wasiat Para Salaf)
oleh Salîm Bin ‘Îed Al Hilâli, Ad Da’wah Ilallâh Bainat Tajammul Hizbi Wat
Ta’âwunisy Syar’i (Menggugat Keberadaan Jama’ah-Jama’ah Islam) oleh Ali Bin
Hasan Al Halabi, Fatâwâ Wa Kalimât Fil Mauqif Minal Jamâ’ât (Al Jamaah
Menurut Ulama Salaf dan Khalaf) oleh Abdurrazzâq Bin Khalîfah Asy Syayyaji, Al
Khilâf Bainal ‘Ulamâ Ashbâbuhû Wa Mauqifunâ Minhu (Beda Ulama Beda
Pendapat) oleh Muhammad Bin Shâlih Al ‘Utsaimîn, Hidâyatul Anâm Lima’rifati
Ashbâbi Ikhtilâfish Shahâbah Wa Fuqahâ Fil Ahkâm (Kiat Menyikapi Perbedaan
pendapat Para Ulama) oleh Ahmad Ala’ Da’bas dan Husain Abdul Majîd Abul Ala’
dan Rifqan Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah (Lemah lembut Sesama Ahlus
Sunnnah) oleh Abdul Muhsin bin Hammad al ‘ Abbad al Badr, serta buku-buku
lainnya yang dapat membukakan pintu kearifan.
Merupakan
keprihatinan, sebuah analisa yang pernah dikemukakan ‘Umar ‘Ubaid Hasanah
ketika memberikan pengantar untuk buku Adâbul Ikhtilâf fil Islâm,
menurutnya, batasan perbedaan pendapat
di kalangan kaum muslimin telah mencapai puncaknya sampai pada tahapan seorang
musyrik merasa aman jiwanya ketika sebahagian firqah-firqah Islam memandangnya
ada dalam kebaikan semata, dimana mayoritas orang-orang muslim yang berikhtilaf
menilai mereka dari sudut pandang nalar dan ijtihad, sehingga terjadilah dampak
buruk dimana firqah Islam tersebut tidak memiliki jalan lain untuk
melepaskan kesucian dirinya melainkan dengan menampakan sifat syirik. Itulah
dampak paling buruk bila perbedaan pendapat tidak segera diluruskan.
Dengan melihat
bahaya yang begitu besar, marilah segera merenungkan kembali isyarat-isyarat nubuwwah
yang mengajarkan bahwa selama sifat kelembutan dan tali kasih (ar rifqu
wat ta’alluf) masih melekat di hati kaum muslimin, hikmah dan mau’izhah hasanah masih dijalankan serta
menuntut ilmu masih dalam pengawasan kitâbullâh dan sunnah RasulNya (‘alâ
bashîrah), insya Allah perbedaan yang terjadi tidak akan berubah menjadi
badai berpecahan.
Menukil nasihat Abdullâh bin Mas’ûd sebagaimana
diriwayatkan ath Thabrâni, beliau mengatakan: “wahai manusia, wajib atas kalian
taat dan berpegang kepada jamaah, karena sesungguhnya ia merupakan tali Allah
yang Dia perintahkan. Sesungguhnya perkara yang kalian benci dalam berjamaah
masih lebih baik dari pada perkara yang kamu sukai di dalam firqah”. (Abdul
Fattah Abû Ghaddah dalam Risâlatul Ulfah Bainal Muslimîn, hal.14). Rasulullah
SAW bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ مَأْلَفَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ
يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ
“orang mukmin itu tempatnya
berkasih sayang, tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak memiliki kasih
sayang dan tidak pula bagi yang menolak kasih sayang”. (HR. Ahmad dari Sahl
bin Sa’ad as Sâ’idi).
Dalam riwayat al
Bukhâri no. 6927 dan Muslim no. 2594, ‘Âisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah
SAW bersabda;
يَاعَائِشَةَ إِنَّ
اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الأَمْرِ كُلِّهِ, وَ فِيْ مُسْلِمٍ: إِنَّ
الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْئٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْئٍ
إِلاَّ شَأْنَهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu maha Lembut dan mencintai
kelembutan di dalam semua urusan. Dalam riwayat Muslim disebutkan: “sungguh,
segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah, sebaliknya, tanpa
kelembutan semuanya menjadi buruk”. Allâhu A’lam bish Shawâb.
Narasumber: Ust. Romly
Qomaruddin Abu Yazid
Indonesia tercipta dengan banyak suku, agama, dan bahasa. Saya setuju banget sama artikel yang satu ini :D
BalasHapus